~Bukan tentang Kemenangan. Ini tentang Nilai dan Keseimbangan~
Oleh Prayudhi Azwar
Menyikapi kekalahan itu teramat mudah. Sangat ringan bagi hati. Ketika
simpati dan empati kita terhadap seseorang semata didasari pembelaan
kita terhadap nilai kebaikan. Terhadap kesimbangan hidup.
Seperti terhadap Jokowi-Ahok (J-A). Itu pembelaan kita menentang
kezaliman isu agama dan non-pribumi, yang mengalahkan nilai merit system.
Nilai yang dibutuhkan pemimpin efektif menjalankan roda pemerintahan.
Meski saat itu, survey LSI 8 April 2012, meyakinkan kita pasangan ini
akan kalah karena elektabilitas hanya 14,4%, kita tidak peduli.
Elektabilitas incumbent, Foke-Nara, yang mencapai 49,1%, jauh melampaui
syarat 30% untuk menang, tidak sedikitpun membuat nyali menciut.
Karena pembelaan atas nilai dan keseimbangan hidup, mengalahkan hitungan
menang-kalah.
Dalam konvensi suatu partai, membela Dahlan
Iskan semata demi memulihkan ketidakseimbangan dalam ekspos media.
Kurangnya pujian atas prestasinya yang monumental di PLN dan BUMN.
Tergantikan tuduhan miring salah fakta tentangnya. Meski secara
nasional elektabilitasnya tak lebih dari 10%, tapi kembali hati tak
peduli itu. Mengusungnya adalah dorongan alami bagi yang merindukan
keseimbangan. Dalam ikhtiar itu telah terkandung satu esensi
kemenangan: kepuasan di jiwa.
Demikian juga kini. Simpati dan
empati terhadap Prabowo Subianto (PSD) adalah ikhtiar alami nurani.
Ikhtiar mengembalikan martabat dan kehormatan seorang putra bangsa, yang
telalu lama dinistakan. Didera beragam isu daur ulang: HAM, utang
triliunan, psikopat, mendekati gila, brutal, dlsb. Padahal rekam
jejaknya bicara berbeda. Lulusan terbaik Akabri 1974. Komandan Kopasus
08, paling dicintai dengan rekam jejak fenomenal. Telah lolos ikut
konvensi capres satu partai besar tahun 2004. Pernah diusung cawapres
partai besar lainnya tahun 2009. Bahkan dijanjikan diatas materai di
Batu Tulis sebagai capres 2014. Telah dua kali lolos screening
kesehatan fisik, jiwa dan mental oleh tim dokter terbaik di Republik
ini. Sudah dua kali lolos seleksi KPU, sang wasit legal, bebas lilitan
utang atau pelanggaran hukum dan lainnya.
Karenanya, pembelaan
terhadap PSD ini tidak sedangkal persoalan kalah-menang. Tak surut,
meski elektabilitasnya saat itu tertinggal jauh, 20-30%. Karena nurani
tak peduli itu. Kalah atau menang bukan urusan. Nurani mendesak hati
bersuara membela sosok yang paling terzalimi. Mendesak tangan menorehkan
empati. Melancarkan kata menyuarakan nilai dan rasa kemanusiaan.
Menyemangati hati mengembalikan nama baik dan kehormatan salah satu
putra terbaik nusantara ini.
Maka andai PSD tidak jadi
presiden, hati tetap menyimpan bahagia. Tidak akan ruang bagi sesal
apalagi bagi sedih dan kecewa. Sebab memperjuangkan keseimbangan,
membela nilai kebaikan, adalah kemenangan hidup itu sendiri. Itulah
kemenangan hakiki di hati para pencinta kemanusiaan sejati.
Jika akhirnya KPU resmi mengumumkan teladan ini memenangi pilpres?
Itupun bukan esensinya.
Itu hanya taburan bumbu-bumbu penyedap rasa belaka.
Prayudhi Azwar
19 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar