PADA PINTA YANG MEMELUK ASA
Sajak Udho Hendra
sungguh melenakan waktu
yang telah terbias begitu saja
kala sejumput pamrih menggapai asa
: sedetik bagimu bagai segunung harap
"kapankah usai?" gumammu, suatu ketika
sekelebat rindu
seakan menuai ringkih pada bongkahan risau
yang memapah gusar
: "bukankah berlembar kertas murka telah
kaututup dengan senyum sumringah
saban pagi di saat kukuk ayam
saling bersahut-sahutan?"
maka, mari kaukalungi kedatangan rindu
yang menghunus fajar
masih menyingsing
: dan sekonyong-konyong
melulu menyongsong surya!
padang, 30 agustus 2014
DI KOTA YANG TERLUKA
Puisi Udho Hendra
puing puing purba diterpa debu
menjilat jelanta
di suatu kota nan telah renta
: kerut wajah kota pun kian mengurat resah
menuai luka nan menganga
begitu saja!
di kota nan haus oleh kering
dan di bibir jalan yang tampak retak
di luka yang memburangsang!
padang, 6 Februari 2014
PADA EKSOTIS ASA
Sajak Udho Hendra
masih membayang asa diguliti ampas-ampas semalam
dan seolah mengumbar harap pada segumpal silhuet gairah
pada gurat-gurat purba yang rerimbun oleh
aksesoris senyum yang imitatif
: yang masih bersisa
sejumput gurau pun menyongsong desahan ilusi menggapai keping basa basi yang usang dan gerah
seakan hanya memuncrat mimpi-mimpi masa silam
: "berilah aku parade halusinasi kolokan tentang segerombol mimpi-mimpi eksotismu! " pintamu suatu waktu
entah bila!
padang, 10 agustus 2014/14 syawal 1435 h
PADA MALAM BERGUMUL RISAU
Oleh Udho Hendra
suatu malam di lampu-lampu massif
hanya bersenda gurau dengan risau
tatkala gerah menghunus janji janji resah
pada saat girang telah raib
digulung pasrah
yang meninggalkan kelap kelip gelisah
di mana sisa sisa buram yang mengusung rindu
pada segumpal geram saban jengkerik saling bersahutan?
mengapa kautiada menggapai piring berisi ampas ampas
tiap malam?
mengapa kaupeluk nestapa
kala tikus tikus
sudah mengerat rikuh?
hanya mengemasi puing puing galau
di sinar dapur kehidupan mulai meredup?
sekadar temaram
maka mari akhiri sengakarut duka
meski tak luka
padang, 30 Juni 2014/ 3 Ramadhan 1435 H
MASIH EPOSIDE TENTANGMU
Puisi Udho Hendra
selalu tentang
atmamu yang sarat ornamen membubung gairah
asesoris sayangmu
menggulung jumawa
yang kukuh
dan cerita tentangmu tiada ikhlas
digilas mesin waktu. meski
kaululuh
pada prinsip masa depan yang sumir
: " aku takkan merubuhkan rasa demi melahap hidanganmu, "gumamku suatu ketika
tatkala kaupeluk
airmata yang meneriak gusar
mengatakan sesungguhnya
kemesraan itu
uraian kasih sayangmu unlimitted
semua hanya untukmu walau ajal akan tiba
suatu waktu nanti, entah bila
meski bagimu aku bukan segalanya
hatiku sudah terpatri oleh aroma cintamu. ia seolah dilas
mesin
pengelas masa
melulu wangi
: hanya buatmu!
dan episode tentangmu
takkan musnah:
"percayalah!".
padang, 19 Maret 2014
BIARKAN PERGI
-- ode buat kabut asap
Puisi : Udho Hendra
dan ia mulai meletih, demi mengucapkan salam hendak pamit ; pergi
menyusuri geram yang buram
pada maskermasker lusuh
"kau kenapa buru-buru?"
buntalan keringatnya menuai amis yang ditinggal saja pada kursi beralaskan jerami, meski kerontang tubuhnya kikir akan body lotion
saban malam nan penat
sekadar mengolesi lirihan dan rintihan
pengap dan risau
: "mengapa kau pergi?"
dan tatkala hujan mulai membentakbentaknya, sekelebat
ia menghilang
tiada berucap apapun
selain membuyarkan asa
: "biarkan ia pergi, jikalau ia hanya mengusung luka!"
padang, 17.03.2014
BASAHMU MENGUYUP ATMA
oleh Udho Hendra
guyur pada pagi selasa sembilan belas februari
dua ribu tiga belas
memburangsangkan sendi-sendi tubuh bongsormu wahai
para penghuni bumi
saban pagi engkau menikmati kuyup nan seksi
dari mega nan mengumbar birahi pilu, dan
kelu tulang-tulangmu bagai memborbardir
atma nan telah terdegradasi oleh waktu yang raib
sia-sia
: terlempar busuk di tong-tong nan keropos!
suatu gerombolan bayu nan sontak menyatroni
seakan membisik : "tahanlah gigilanmu, wahai para
rakyat bumi," dan mereka membiar keterperongokanmu
menghilang sejurus kemudian,"matahari berjanji
memberi senyuman nan superlatif pada kalian."
begitulah! dan melulu begitu, saban waktu
di kala basah mengkuyupmu
maukah engkau tak mengharap janji
matahari?
padang, 19 februari 2013
SELAMAT SENJA DI PANGKAL MALAM
--sebuah ratapan kepada segerombol awan
Puisi Udho Hendra
I
lekukan tubuh bongsormu nan menggumpal-gumpal
dengan konco-koncomu nan seulah
engkau meratap pada sebuah
silhuet nan terhimpit
geram surya
: di mana geramnya tatkala
engkau bergumam bahwa sang malam
dalam perjalanan menuju atmamu, wahai awan?
II
"sangat berat dan meringkik sang hujan hendak terjun ke bumi," pekikmu dengan warna suara kian memarau dan raut mulai memedih
dan
sekonyong-konyong engkau tak kuasa
lantas
ia melepas borgol sang hujan
III
selamat jalan hujan
jangan siksa penghuni bumi, bisikmu kecut
sambil mendekap malam
nan kian temaram
padang, dua puluh enam november dua ribu dua belas
KEKUKUHAN LEMBAH HARAU YANG HIJAU
--mengapit hamparan padi nan senyum sumringah
Sajak Karya Udho Hendra..
kausampaikan sebait pinta padanya, lantas
engkau meratap pada sebuah
silhuet nan terhimpit
geram surya
: di mana geramnya tatkala
engkau bergumam bahwa sang malam
dalam perjalanan menuju atmamu, wahai awan?
II
"sangat berat dan meringkik sang hujan hendak terjun ke bumi," pekikmu dengan warna suara kian memarau dan raut mulai memedih
dan
sekonyong-konyong engkau tak kuasa
lantas
ia melepas borgol sang hujan
III
selamat jalan hujan
jangan siksa penghuni bumi, bisikmu kecut
sambil mendekap malam
nan kian temaram
padang, dua puluh enam november dua ribu dua belas
KEKUKUHAN LEMBAH HARAU YANG HIJAU
--mengapit hamparan padi nan senyum sumringah
Sajak Karya Udho Hendra..
kausampaikan sebait pinta padanya, lantas
kaugamit mesra tatkala kegalauan menyatroni jiwa yang mengagresi
: dan sontak menggerilya
padahal kerlingan sang surya
di suatu siang --entah bila--
menyuapmu
"jangan tinggalkan ia sedetikpun," pinta
matahari riuh dan memelas kala itu seakan penuh asa
tiadakah engkau merasa girang dan jumawa
tatkala
kegundahanmu telah dientaskan
oleh lembah nan gagah?
(di sebuah malam nan nyaris larut dan senyap, empat desember dua ribu dua belas)
LIHATLAH SAWAH DAN LADANG HATI
Puisi Udho Hendra
di tepianmu nan berususun-susun
bertingkat-tingkat
hati tiada pernah lusuh menyaksimu
dan suatu ketika engkau seakan memaksaku
menyambangimu
kaupertanyakan "apakah aku di sini sama dengan yang ada di benak pemimpinmu saat ini?"
diamku
tersudutku
karena engkau tak pernah tertidur saat sidang, atau
keluar negeri berjuta dalih studi banding palsu
atau mencongkel anggaran belanja negara
atau meniduri gadis lugu yang yang mereka nikahi
dengan keimitasian, semalam saja
membohongi kaummu, demi menopengi wajah munafiknya
yang diusung keberpuraa-puraan
katamu: " tunggu lah kedatangan bencana jika seorang pemimpin sudah nista,
memperbudaki rakyatnya!" kritikmu dengan raut murka
heningku
bersandarku
lalu mengangguk-angguk, dan menggumam
: " entahlah " ( sejatinya membenarkan cukilan sawah dan ladang itu)
padang, 6 Desember 2012 jam 06.45 WIB
SAJAK "UDHO HENDRA"
KEPADA IKAN YANG MENATAPMU
--sebuah simpati pada Ruyati, tenaga kerja Indonesia yang dihukum mati
di suatu pagi yang menggerimis, engkau sontak menatap bengis kepada ikan-ikan di kolam yang renta
menggerombol menggapai oksigen. padahal sudah lama megap-megap mereka mencari ruang udara,
sudah teramat lama
: engkau menatap apa, tatkala ikan sapu-sapu ogah menyapu dinding kolam?
padahal, ikan-ikan butuh makan yang purba, apa saja yang pernah engkau memburangsang
pada mulut-mulut mereka, yang pernah engkau siksa, engkau banting, walau mereka mencoba
menghindarimu ; meronta berlenggok-lenggok tiada penat
"aku mau membunuhmu, lalu menggantungmu dengan golok yang berkilau dan tajam," ujarmu
di sinar petromaks suatu malam yang menggeram
satu persatu mereka engkau bantai
engkau berangus
engkau racun
engkau madu
engkau pelintir
semuanya
engkaukah yang bernama majikan
yang
menjijikkan?
padang, 22 juni 2011
: dan sontak menggerilya
padahal kerlingan sang surya
di suatu siang --entah bila--
menyuapmu
"jangan tinggalkan ia sedetikpun," pinta
matahari riuh dan memelas kala itu seakan penuh asa
tiadakah engkau merasa girang dan jumawa
tatkala
kegundahanmu telah dientaskan
oleh lembah nan gagah?
(di sebuah malam nan nyaris larut dan senyap, empat desember dua ribu dua belas)
LIHATLAH SAWAH DAN LADANG HATI
Puisi Udho Hendra
di tepianmu nan berususun-susun
bertingkat-tingkat
hati tiada pernah lusuh menyaksimu
dan suatu ketika engkau seakan memaksaku
menyambangimu
kaupertanyakan "apakah aku di sini sama dengan yang ada di benak pemimpinmu saat ini?"
diamku
tersudutku
karena engkau tak pernah tertidur saat sidang, atau
keluar negeri berjuta dalih studi banding palsu
atau mencongkel anggaran belanja negara
atau meniduri gadis lugu yang yang mereka nikahi
dengan keimitasian, semalam saja
membohongi kaummu, demi menopengi wajah munafiknya
yang diusung keberpuraa-puraan
katamu: " tunggu lah kedatangan bencana jika seorang pemimpin sudah nista,
memperbudaki rakyatnya!" kritikmu dengan raut murka
heningku
bersandarku
lalu mengangguk-angguk, dan menggumam
: " entahlah " ( sejatinya membenarkan cukilan sawah dan ladang itu)
padang, 6 Desember 2012 jam 06.45 WIB
MENEGUR KEPASRAHAN PADA SEJUMPUT WAKTU
Oleh Udho Hendra *)
masih tentangnya:
engkau menegun menuai sensasi sepanjang hari, saat di mana sang masa
telah raib ditelan pasrah
tatkala puing-puing retak hendak menderak
menerpa ampas-ampas kepiluan, menggapai asa yang tiada memusnah
masihkah masa berpaling
mengilas balik pada memori galau yang kian memburangsang
meski ia tak jua membunuhmu
menghunuskan samurai asmara nan telah haus darah cinta?
waktu semakin usang menguak pinta-pinta kerinduan akan sederet
potret kedigjayaan
masa silam yang sarat mainstream historika
kini biarkan waktu berlari
mengejar bola-bola kerinduan ; merebutnya
lantas menggiring dan menjebol ke gawang hatimu
yang dikuasai kekakuan semu
nan entah bila mendengar instruksi pemilik waktu
: yang tanpa letih meneriaki : "janganlah engkau digilas waktu!"
selalu dan tiada berbilang
padang, 12 november 2013 / 8 muharram 1435 h
Puisi :
MENANTI PAWAI MIMPI
Oleh Udho Hendra (Hendra Idries) *)
sontak selimut kelirihan seakan memacu nyali jiwa-jiwa yang kian
telaten merangkai kengiluan di rembang petang itu
padahal dirimu masih berujar
: "liuk angin memaksaku melulu menggigil menggapai beronggok-onggok keresahan."
pada waktu itu, engkau pun masih berusaha menyongsong periuk jumawa yang
makin rajin mematri di segenap atma makluk di sekitarmu
padahal ia sudah lama terkubur di tanah yg lembek
: lalu mengapa tembilang sedia jadi penyalin periuk-periuk yang tampak pongah?
"aku belum makan sudah beberapa hari, " keluhmu, setiap selimut gamang masih saja
berurai kegelisahanmu suatu ketika
kala lelap membisikkan
sesuatu yang membujukmu agar mengukur ranjang nan pasrah menelentang
ndilala engkau menggumam : "biarkan diriku menanti pawai-pawai mimpi."
padang, 9 November 2013 / 5 Muharram 1435 H
BERKATALAH PADA ANGIN
Puisi : Udho Hendra
I
marilah
berujar walau tiada berkata,
berkatalah meski bungkam
: bungkam yang tiada bersuara
ayolah
berucap, walau tiada bergeming
berkatalah meski diam
: diam yang tiada berteriak
silakanlah
berujar ayolah, mari berucap
suara yang tak terucap
teriak yang bak angin
mendesau
berkilau
walau laksana puing di pertokoan pasca gempa bumi
II
mengapa bungkam namun hati geram
kenapa diam tetapi jiwa mencekam
siapa tak bersuara
suara tak siapa
mendesau karena tak mau bungkamkah?
berkilau tersebab tak kuasa mengeluarkan suarakah?
atau suara tak mengeluarkan angin yang tiada berdesau
yang tak pernah bergeming
mengapa
kenapa
siapa
sudahlah!
III
tidak pernah suara haruskah berteriak
pada segumpal rasa sesak yang bak semak
berisik
pada intrisik
o, angin engkau tak pernah membaca pikiran
yang senantiasa terusik oleh sejumput rumput
kumuh sarat tuma dan gulma
IV
ya, sudah!
padang, Januari 2011
di ruangan yang berisik oleh musik yang asyik.
TARIAN BURUNG ITU
--dalam rangka hari pahlawan sepuluh november
Udho Hendra (Hendra Idries) *)
seakan tiada melelah engkau meliuk-liuk ; saban detik
berkitar-kitar
: berputar, di sepanjang angkasa
"lalu kapan engkau berbaring di kasur empuk, jika engkau senantiasa
tiada pernah usai menari-nari?" tanya sesiapa di mana saja, setiap
masa
namun engkau tak peduli
dan melulu kauberjuang. bertempur menentang kezaliman!
andai kauhinggap di antara oknum-oknum manusia yang mengumbar
membubung keimitasian senyum dusta, engkau menyegera
mengucapkan selamat tinggal
: kausongsong angkasa yang mesra
sedemikian rupa. hanya ia nan senantiasa loyal memelukmu
melulu, semenjak dulu
"aku tak butuh sofa milik manusia serakah!" teriakmu sembari berlalu sebelum ditelan awan
dan kauterbang tatkala segerombol manusa petembak
hendak mengokang senjata ke arahmu, "aku tak rela mati konyol
oleh ulah makhluk loba, seperti kalian!"
padang, 10 november 2013 / 6 muharram 1435 h
I
masih teringaktkah engkau tatkala saban detik engkau mengharap asa dari embun pagi
yang berjejer di rerumputan dan bunga-bunga di taman itu bermanfaat? meski engkau harus
menunggu esok pagi?
engkau lantas mematut di depan beronggok-onggok embun saban pagi, tatkala
semua jiwa masih menikmati kasur ; masih terlelap dalam mimpi-mimpi semalam yang
engkau sendiri tak sempat mengingat parade mimpi itu
: ndilala embun pagi tersenyum padamu, sembari menggumam :"apakah kehadiranku mengganggumu?"
II
seorang ibu melumuri bertetes-tetes embun pagi kepada sepasang kaki anaknya yang masih bayi
mengharap sesuatu pada sang embun di rerumputan di tanah kosong di depan rumahmu
mengapa ia setiap pagi menunggu embun yang datangnya serta merta, entah ada entah siapa
: "aku ingin berasa supaya anakku ini bisa berjalan cepat," ucap sang ibu penuh harap
dengan mata bercermin-cermin, melulu
III
tapi di sisi lain, seorang pemangkas rumput lantas bersiap-siap menghidupkan mesin miliknya
mengisi berliter-liter bensin
dengan tekun-tekun ia memangkas dengan penuh mesra dan sarat makna
lalu mengambil cangkul dan menyirami dengan zat kimia
racun pembunuh rumput
IV
besoknya engkau hanya melihat gundukan tanah bekas rumput
:"ke mana embun pagi itu?' betapa engkau risih dan kehilangan
lalu ibu dan sang bayi, mengapa juga ia tak menampakkan diri?
cukupkah hanya sekadar ronta demi sang embun?
entahlah
padang, 9 September 2011
di suatu pagi, ketika embun menatap sungkan kepadaku
Puisi :
MENANTI PAWAI MIMPI
Oleh Udho Hendra (Hendra Idries) *)
sontak selimut kelirihan seakan memacu nyali jiwa-jiwa yang kian
telaten merangkai kengiluan di rembang petang itu
padahal dirimu masih berujar
: "liuk angin memaksaku melulu menggigil menggapai beronggok-onggok keresahan."
pada waktu itu, engkau pun masih berusaha menyongsong periuk jumawa yang
makin rajin mematri di segenap atma makluk di sekitarmu
padahal ia sudah lama terkubur di tanah yg lembek
: lalu mengapa tembilang sedia jadi penyalin periuk-periuk yang tampak pongah?
"aku belum makan sudah beberapa hari, " keluhmu, setiap selimut gamang masih saja
berurai kegelisahanmu suatu ketika
kala lelap membisikkan
sesuatu yang membujukmu agar mengukur ranjang nan pasrah menelentang
ndilala engkau menggumam : "biarkan diriku menanti pawai-pawai mimpi."
padang, 9 November 2013 / 5 Muharram 1435 H
BERKATALAH PADA ANGIN
Puisi : Udho Hendra
I
marilah
berujar walau tiada berkata,
berkatalah meski bungkam
: bungkam yang tiada bersuara
ayolah
berucap, walau tiada bergeming
berkatalah meski diam
: diam yang tiada berteriak
silakanlah
berujar ayolah, mari berucap
suara yang tak terucap
teriak yang bak angin
mendesau
berkilau
walau laksana puing di pertokoan pasca gempa bumi
II
mengapa bungkam namun hati geram
kenapa diam tetapi jiwa mencekam
siapa tak bersuara
suara tak siapa
mendesau karena tak mau bungkamkah?
berkilau tersebab tak kuasa mengeluarkan suarakah?
atau suara tak mengeluarkan angin yang tiada berdesau
yang tak pernah bergeming
mengapa
kenapa
siapa
sudahlah!
III
tidak pernah suara haruskah berteriak
pada segumpal rasa sesak yang bak semak
berisik
pada intrisik
o, angin engkau tak pernah membaca pikiran
yang senantiasa terusik oleh sejumput rumput
kumuh sarat tuma dan gulma
IV
ya, sudah!
padang, Januari 2011
di ruangan yang berisik oleh musik yang asyik.
TARIAN BURUNG ITU
--dalam rangka hari pahlawan sepuluh november
Udho Hendra (Hendra Idries) *)
seakan tiada melelah engkau meliuk-liuk ; saban detik
berkitar-kitar
: berputar, di sepanjang angkasa
"lalu kapan engkau berbaring di kasur empuk, jika engkau senantiasa
tiada pernah usai menari-nari?" tanya sesiapa di mana saja, setiap
masa
namun engkau tak peduli
dan melulu kauberjuang. bertempur menentang kezaliman!
andai kauhinggap di antara oknum-oknum manusia yang mengumbar
membubung keimitasian senyum dusta, engkau menyegera
mengucapkan selamat tinggal
: kausongsong angkasa yang mesra
sedemikian rupa. hanya ia nan senantiasa loyal memelukmu
melulu, semenjak dulu
"aku tak butuh sofa milik manusia serakah!" teriakmu sembari berlalu sebelum ditelan awan
dan kauterbang tatkala segerombol manusa petembak
hendak mengokang senjata ke arahmu, "aku tak rela mati konyol
oleh ulah makhluk loba, seperti kalian!"
padang, 10 november 2013 / 6 muharram 1435 h
Puisi :
MENGURAI BENANG DI TERIK YANG BASAH
Karya Udho Hendra (Hendra Idries) *)
pada waktu nan tiada berjenuh menggelinding, menggulir
serta menggiring bola permasalahan dari kaki-kaki solusi lantas
tak malu menggorengnya
: engkau sungguh motivatif mencipta seabrek ikhtiar yang paripurna
dan superlatif!
tatkala jejak-jejak masih bersisa meski renta
menyongsong secara galib mengurai benang yang lembap
semasa air mata tak santun
menabuh kenestapaan akan wafatnya kegemilangan
demi kegemilangan masa silam
nan seakan telah kadaluarsa begitu saja oleh asa nan sumir
: tahukah engkau, sang surya ikhlas ditutup awan nan
penat?
pun di saat masa silam menggiring bola waktu dan jejak berlalu penuh siksa
engkau tak jua sungkan mengucap kalimat-kalimah syahdu yang seolah tak sanggup
menyambut gerombolan keprihatinan
menyatroni saling bergantian
nan tiada pernah segan memberi salam perih
: mana ikhlasmu nan dulu nelangsa dan mengangkasa?
lalu apakah engkau masih membiar jejak jejak itu
basah dan musnah?
"biarlah ia kuyup, karena waktu menggugatnya!" teriak pemilk kegemilangan
masa lampaumu ; memburangsang sembari menyeruput
obsesi purbamu, suatu ketika
entah bila
sudahlah!
Padang, 5 November 2013/ 1 Muharram 1435 Hijriah
PUING-PUING NESTAPA
Pusi Udho Hendra
sontak aku dipeluk debu
nan tiada berbosan mengcekeram tubuh nan baru saja terpental
oleh bertrilyun puing-puing kenestapaan
: melulu mendekap
hingga tiada henti membanting jiwa di sudut hati nan sunsang
...
debu-debu purba, engkaukah bernama perih nan masih
tiada lelah memeluk
yang masih betah mendekap
hingga terberangus kepalsuan?
padang, 17 februari 2011
KETIKA ENGKAU PERNAH MENGATAKAN KEPADA EMBUN PAGI
MENGURAI BENANG DI TERIK YANG BASAH
Karya Udho Hendra (Hendra Idries) *)
pada waktu nan tiada berjenuh menggelinding, menggulir
serta menggiring bola permasalahan dari kaki-kaki solusi lantas
tak malu menggorengnya
: engkau sungguh motivatif mencipta seabrek ikhtiar yang paripurna
dan superlatif!
tatkala jejak-jejak masih bersisa meski renta
menyongsong secara galib mengurai benang yang lembap
semasa air mata tak santun
menabuh kenestapaan akan wafatnya kegemilangan
demi kegemilangan masa silam
nan seakan telah kadaluarsa begitu saja oleh asa nan sumir
: tahukah engkau, sang surya ikhlas ditutup awan nan
penat?
pun di saat masa silam menggiring bola waktu dan jejak berlalu penuh siksa
engkau tak jua sungkan mengucap kalimat-kalimah syahdu yang seolah tak sanggup
menyambut gerombolan keprihatinan
menyatroni saling bergantian
nan tiada pernah segan memberi salam perih
: mana ikhlasmu nan dulu nelangsa dan mengangkasa?
lalu apakah engkau masih membiar jejak jejak itu
basah dan musnah?
"biarlah ia kuyup, karena waktu menggugatnya!" teriak pemilk kegemilangan
masa lampaumu ; memburangsang sembari menyeruput
obsesi purbamu, suatu ketika
entah bila
sudahlah!
Padang, 5 November 2013/ 1 Muharram 1435 Hijriah
PUING-PUING NESTAPA
Pusi Udho Hendra
sontak aku dipeluk debu
nan tiada berbosan mengcekeram tubuh nan baru saja terpental
oleh bertrilyun puing-puing kenestapaan
: melulu mendekap
hingga tiada henti membanting jiwa di sudut hati nan sunsang
...
debu-debu purba, engkaukah bernama perih nan masih
tiada lelah memeluk
yang masih betah mendekap
hingga terberangus kepalsuan?
padang, 17 februari 2011
KETIKA ENGKAU PERNAH MENGATAKAN KEPADA EMBUN PAGI
Puisi UDHO HENDRA :
I
masih teringaktkah engkau tatkala saban detik engkau mengharap asa dari embun pagi
yang berjejer di rerumputan dan bunga-bunga di taman itu bermanfaat? meski engkau harus
menunggu esok pagi?
engkau lantas mematut di depan beronggok-onggok embun saban pagi, tatkala
semua jiwa masih menikmati kasur ; masih terlelap dalam mimpi-mimpi semalam yang
engkau sendiri tak sempat mengingat parade mimpi itu
: ndilala embun pagi tersenyum padamu, sembari menggumam :"apakah kehadiranku mengganggumu?"
II
seorang ibu melumuri bertetes-tetes embun pagi kepada sepasang kaki anaknya yang masih bayi
mengharap sesuatu pada sang embun di rerumputan di tanah kosong di depan rumahmu
mengapa ia setiap pagi menunggu embun yang datangnya serta merta, entah ada entah siapa
: "aku ingin berasa supaya anakku ini bisa berjalan cepat," ucap sang ibu penuh harap
dengan mata bercermin-cermin, melulu
III
tapi di sisi lain, seorang pemangkas rumput lantas bersiap-siap menghidupkan mesin miliknya
mengisi berliter-liter bensin
dengan tekun-tekun ia memangkas dengan penuh mesra dan sarat makna
lalu mengambil cangkul dan menyirami dengan zat kimia
racun pembunuh rumput
IV
besoknya engkau hanya melihat gundukan tanah bekas rumput
:"ke mana embun pagi itu?' betapa engkau risih dan kehilangan
lalu ibu dan sang bayi, mengapa juga ia tak menampakkan diri?
cukupkah hanya sekadar ronta demi sang embun?
entahlah
padang, 9 September 2011
di suatu pagi, ketika embun menatap sungkan kepadaku
BURUNG TAK BERSAYAP
Udho Hendra
kepak-kepakmu serta-merta patah
tiba-tiba bergugur menerpa ilalang yang usang dan pirang
kauhendak terbang, selalu berikhtiar meski terhentak
kauingin menggapai setinggi-tingginya memeluk angkasa yang
dikuasai oleh raja angin
seakan engkau jadi sohib angin, saling mendekap,
berpelukan, bahkan bergumul
berpendar lalu saling mengitari
seolah tiada berjenuh
melakukannya semasa hayatmu
melulu
kini sayap-sayapmu telah patah
oleh raja angin yang durjana
engkau terjungkal
engkau terpental
engkau mengerang
meringis
bersama sahabat-sahabatmu seprofesi
sedunsanak, senasib
engkau mengajak melawan angin
raja angkasa yang kini telah otoriter
tiada pernah lagi mengusung demokrasi
tiada lagi menampung pendapatmu bersama rakyat yang lain
kiacuan demi kicauan hanya bagai suara nyamuk dan semut serta langau
oleh si raja udara
kuping nya seakan tertutup pelangkin
wahai burung nan nestapa,
memohon lah pada sang Khaliq agar si raja angkasa nan durjana
bin zalim
turun takhta
supaya engkau kembali bersayap
bergerombol menghibur bumi nan
telah sesak
yang
telah pengap oleh ketidakpastian
andai ada yang menjual, maukah engkau membeli sayap-sayap itu?
padang, 8 maret 2011
Sajak: "PUING-PUING NESTAPA"
oleh Udho Hendra pada 17 Februari 2011 jam 17:27
PUING-PUING NESTAPA
sontak aku dipeluk debu
nan tiada berbosan mengcekeram tubuh nan baru saja terpental
oleh bertrilyun puing-puing kenestapaan
: melulu mendekap
hingga tiada henti membanting jiwa di sudut hati nan sunsang
...
debu-debu purba, engkaukah bernama perih nan masih
tiada lelah memeluk
yang masih betah mendekap
hingga terberangus kepalsuan?
padang, februari 2011
SEPATU TAK BERKAOS
--- ode buat seorang pemimpin di sebuah kota
Udho Hendra
sepatumu tak lagi mengkilau
kaucoba menyemir dan menyemir, saban waktu
tiada berjenuh
untuk menata kotamu yang tercarut-marut oleh keberpuraa-puraan
yang kaubina seantero waktu
yang telah sumir kepemimpinanmu
: seakan kaututup sobekan demi sobekan yang telah paripurna menganga
menatap wajah duniamu
kota yang kaupimpin seakan tiada usai mempertontonkan kecompang-campingan
kebijakan menohok wargamu
yang seakan berlari tiada tahu di mana ia mesti berhenti kala gempa menghinggap kotamu
tersebab ulahmu, wahai penguasa yang otoriter!
sol-sol sepatumu pun sudah menipis
tiada lagi tempat berpijak
pada kebjakan yang tak beraturan
kini mengapa engkau tiada pernah menginap di kotamu
bersama wargamu
: mengapa engkau menyuruh wakilmu menghadapi
amukan, demonstrasi, umpatan, makian, keluhan?
kotamu kaubiar mati suri
kaubiar sepatu wargamu sobek, sol menganga,
sedang ia senantiasa mengurai kehidupannya penuh nestapa
dan terlunta-lunta
melangkah tidak pernah menggiring kaos di antara
sepatu-sepatu yang mereka kenakan
sementara sepatumu saban masa berganti dan mengkilat
sekliat keningmu yang sempit
kau pemimpin kemunafikan
pulanglah
belikan sepatu baru buat wargamu yang kautinggal
semirlah dengan tanganmu
kilaukan mereka
dengan kebijakan orisinal dan rasional
maukah engkau?
padang, 4 maret 2011
Udho Hendra
kepak-kepakmu serta-merta patah
tiba-tiba bergugur menerpa ilalang yang usang dan pirang
kauhendak terbang, selalu berikhtiar meski terhentak
kauingin menggapai setinggi-tingginya memeluk angkasa yang
dikuasai oleh raja angin
seakan engkau jadi sohib angin, saling mendekap,
berpelukan, bahkan bergumul
berpendar lalu saling mengitari
seolah tiada berjenuh
melakukannya semasa hayatmu
melulu
kini sayap-sayapmu telah patah
oleh raja angin yang durjana
engkau terjungkal
engkau terpental
engkau mengerang
meringis
bersama sahabat-sahabatmu seprofesi
sedunsanak, senasib
engkau mengajak melawan angin
raja angkasa yang kini telah otoriter
tiada pernah lagi mengusung demokrasi
tiada lagi menampung pendapatmu bersama rakyat yang lain
kiacuan demi kicauan hanya bagai suara nyamuk dan semut serta langau
oleh si raja udara
kuping nya seakan tertutup pelangkin
wahai burung nan nestapa,
memohon lah pada sang Khaliq agar si raja angkasa nan durjana
bin zalim
turun takhta
supaya engkau kembali bersayap
bergerombol menghibur bumi nan
telah sesak
yang
telah pengap oleh ketidakpastian
andai ada yang menjual, maukah engkau membeli sayap-sayap itu?
padang, 8 maret 2011
Sajak: "PUING-PUING NESTAPA"
oleh Udho Hendra pada 17 Februari 2011 jam 17:27
PUING-PUING NESTAPA
sontak aku dipeluk debu
nan tiada berbosan mengcekeram tubuh nan baru saja terpental
oleh bertrilyun puing-puing kenestapaan
: melulu mendekap
hingga tiada henti membanting jiwa di sudut hati nan sunsang
...
debu-debu purba, engkaukah bernama perih nan masih
tiada lelah memeluk
yang masih betah mendekap
hingga terberangus kepalsuan?
padang, februari 2011
SEPATU TAK BERKAOS
--- ode buat seorang pemimpin di sebuah kota
Udho Hendra
sepatumu tak lagi mengkilau
kaucoba menyemir dan menyemir, saban waktu
tiada berjenuh
untuk menata kotamu yang tercarut-marut oleh keberpuraa-puraan
yang kaubina seantero waktu
yang telah sumir kepemimpinanmu
: seakan kaututup sobekan demi sobekan yang telah paripurna menganga
menatap wajah duniamu
kota yang kaupimpin seakan tiada usai mempertontonkan kecompang-campingan
kebijakan menohok wargamu
yang seakan berlari tiada tahu di mana ia mesti berhenti kala gempa menghinggap kotamu
tersebab ulahmu, wahai penguasa yang otoriter!
sol-sol sepatumu pun sudah menipis
tiada lagi tempat berpijak
pada kebjakan yang tak beraturan
kini mengapa engkau tiada pernah menginap di kotamu
bersama wargamu
: mengapa engkau menyuruh wakilmu menghadapi
amukan, demonstrasi, umpatan, makian, keluhan?
kotamu kaubiar mati suri
kaubiar sepatu wargamu sobek, sol menganga,
sedang ia senantiasa mengurai kehidupannya penuh nestapa
dan terlunta-lunta
melangkah tidak pernah menggiring kaos di antara
sepatu-sepatu yang mereka kenakan
sementara sepatumu saban masa berganti dan mengkilat
sekliat keningmu yang sempit
kau pemimpin kemunafikan
pulanglah
belikan sepatu baru buat wargamu yang kautinggal
semirlah dengan tanganmu
kilaukan mereka
dengan kebijakan orisinal dan rasional
maukah engkau?
padang, 4 maret 2011
SAJAK "UDHO HENDRA"
KEPADA IKAN YANG MENATAPMU
--sebuah simpati pada Ruyati, tenaga kerja Indonesia yang dihukum mati
di suatu pagi yang menggerimis, engkau sontak menatap bengis kepada ikan-ikan di kolam yang renta
menggerombol menggapai oksigen. padahal sudah lama megap-megap mereka mencari ruang udara,
sudah teramat lama
: engkau menatap apa, tatkala ikan sapu-sapu ogah menyapu dinding kolam?
padahal, ikan-ikan butuh makan yang purba, apa saja yang pernah engkau memburangsang
pada mulut-mulut mereka, yang pernah engkau siksa, engkau banting, walau mereka mencoba
menghindarimu ; meronta berlenggok-lenggok tiada penat
"aku mau membunuhmu, lalu menggantungmu dengan golok yang berkilau dan tajam," ujarmu
di sinar petromaks suatu malam yang menggeram
satu persatu mereka engkau bantai
engkau berangus
engkau racun
engkau madu
engkau pelintir
semuanya
engkaukah yang bernama majikan
yang
menjijikkan?
padang, 22 juni 2011
HALUSINASI SENJA TUAN AMBISIUS
engkaulah lelaki semilyar ambisi, napsi-napsi; akan engkau kuasai
dunia nan bukan quotamu, tuan ambisius...
kaurambah sedoyanmu, dengan kumis-kumis palsumu
"negeri ini milikku selamanya... aku mau jadi menteri negeri mimpi" teriakmu
pada para demonstran yang melemparmu dengan telur busuk
dan kelapa tua, lantas engkau kibas dengan tangan imitasimu
engkau lelaki setrilyun program khayalan
ujarmu: : "saya mau bikin...mau buat... mau ..mau..."
: mau yang besar, tapi tak pernah ada
seakan kaubuai-buai rakyat yang telah menguap, telah terkantuk-kantuk
kaurayu mereka, agar mereka teranggguk-angguk
tuan ambisius, bahwa hari belumlah senja
kala engkau memaksa hari segera malam
engkau akan paksa mereka supaya mempercepat malam, lalu kau
paksa mereka tidur, dengan mata melek..
tuan ambisius, engkau tak memikir betapa pekerjaan rumahmu
belum engkau jalankan, karena engkaulah tuan ambisius
telah terbiasa oleh protokoler.
: dulu gurumu engkau bujuk via bapakmu yang jenderal
supaya tugas sekolahmu beres
tuan ambisius, tidurlah, di lapik, di tikar keropos, biar
engkau tahu arti hidup
karena malam hanya milik orang yang pasti...
tuan ambisius, makan lah batu yg lembek di piring yg retak
dan berderak
padang, 2010
"negeri ini milikku selamanya... aku mau jadi menteri negeri mimpi" teriakmu
pada para demonstran yang melemparmu dengan telur busuk
dan kelapa tua, lantas engkau kibas dengan tangan imitasimu
engkau lelaki setrilyun program khayalan
ujarmu: : "saya mau bikin...mau buat... mau ..mau..."
: mau yang besar, tapi tak pernah ada
seakan kaubuai-buai rakyat yang telah menguap, telah terkantuk-kantuk
kaurayu mereka, agar mereka teranggguk-angguk
tuan ambisius, bahwa hari belumlah senja
kala engkau memaksa hari segera malam
engkau akan paksa mereka supaya mempercepat malam, lalu kau
paksa mereka tidur, dengan mata melek..
tuan ambisius, engkau tak memikir betapa pekerjaan rumahmu
belum engkau jalankan, karena engkaulah tuan ambisius
telah terbiasa oleh protokoler.
: dulu gurumu engkau bujuk via bapakmu yang jenderal
supaya tugas sekolahmu beres
tuan ambisius, tidurlah, di lapik, di tikar keropos, biar
engkau tahu arti hidup
karena malam hanya milik orang yang pasti...
tuan ambisius, makan lah batu yg lembek di piring yg retak
dan berderak
padang, 2010
*) Udho Hendra atau Hendra Idris (Hendra Idries), lahir di Padang, 19 Maret 19..., telah pernah mencoba jadi Karikatur/ Kartunis semasa SMP, menulis cerita stensilan, cerita lucu (pada zaman Novel "Lupus" popluer), pernah menjadi Juara II Lomba Cerpen yang diadakan sekolah semasa SMA.
Mulai 1992 telah mempublikasikan karya-karya berupa Cerpen, Artikel, Opini, Puisi/ Sajak, Esai, Kolom, Komentar, Resensi Buku di pelbagai media massa lokal dan nasional di Harian Haluan, Harian Singgalang, Harian Pagi Padang Ekspres (Padang), Harian Waspada, Harian Analisa (Medan), Harian Republika, Tabloid Aksi ( Nasional), Gema Justisia (Koran Kampus), KMS - Singgalang (alhamdulillah, beberapa tulisan masih disimpan klipingnya hingga saat ini).
Pada tahun 2002, telah mempensiunkan diri dari dunia kepenulisan fiksi dan non fiksi -- meski masih menyimpan sejumlah obesi, antara lain : menulis di Harian Kompas, Media Indonesia, ingin menulis buku tentang bidang hukum, ingin menulis Novel--- yaitu semenjak diangkat menjadi Notaris (2003 dilantik) dan PPAT (2008 dilantik)..
Keinginan come back menulis dari pelbagai rekan penulis masa lalu, masih tetap ada, tetapi butuh waktu untuk beradaptasi.
Alhamdulillah, sisa-sisa menulis masa silam, masih tersalur di dunia Social media (facebook, twitter, menulis di blog).
Prinsip Menulis : "Percaya, bahwa dengan menulis, hidup semakin hidup. Dengan menulis, orang bakal bisa menjadi besar dan terkenal serta populer. Karena dengan menulis, sejatinya banyak pesan bermanfaat dan berguna untuk kebaikan sesama manusia, semoga senantiasa dikenang, walau penulisnya telah wafat, dan hanya sekadar meninggalkan secuil warisan karya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar