Rabu, 15 Oktober 2014

Gajah dan Pelanduk

KALAU kondisi negeri kita masih begini-begini, perlukah kiranya kita buncahkan cerita tentang kebinatangan (fabel) sebagai manivestasi arogansi sikap manusia terhadap dirinya sendiri?
Jangan terburu nafsu untuk merespons-nya, jika kita sendiri tidak mengaku bahwa secara implisit telah terkontaminasi karakter hewan dalam ikhtiar meng-solve segala pernik-pernik persoalan, terutama politik, ekonomi (dengan tetap langgengnya keterpurukan si ‘rupiah’ terhadap si dolar), atau tetap bengkalainya urusan sembako hingga detik ini.
Dulu, kita pikir setelah Soeharto lengser dari keprabon-nya, negeri ini —lewat golongan elite-nya seperti Pemerintah—-  pasca Soeharto, para mantan, para politisi, akademisi, dll, akan betul-betul berubah, ternyata kontrari ; mungkin lebih massif ketimbang waktu-waktu sebelum Soeharto step down.
Kini, gajah-gajah telah saling sikut.  Bayangkan, bila gajah-gajah yang berbadan luar biasa besar itu —yang dari dulu senantiasa dilatih para pawang untuk bersirkus ria— sudah gontokan-gontokan  satu sama lain. Mereka merasa sudah sebegitu superiornya, hingga binatang-binatang lain (yang tersekap dalam kungkungan label marginalisasi,grass root, golongan madani, atau terminologi lain tentang rakyat badarai)  —konsekuensi dari ‘persikutan’ dan/atau pertarungan antar gajah— menjadi tersangat inferior. Rumput milik binatang lain diinjak-injak, bahkan diback up demi biaya perjuangan para gajah.
Seperti kata pepatah  : gara-gara gajah berjuang dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengahnya, maka rakyat bawah dieufemismekan sebagai pelanduk. Lihatlah, conflict of interest golongan-golongan elite, terutama Pemerintah dengan para pengamat atau sesama pengamat, dan sebagainya. Toh, rembesan kemiskinan dan kemeranaan buntutnya menghunjami pelanduk juga. Sehingga dalam akuntabilitasnya, talenta para pelanduk untuk “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” sebagai imbas dari jargon‘equality before the law’, hanyalah sekadar sloganistik belaka.
Sesungguhnya, fabel itu telah menginfiltrasi segala diskursus tentang panggung perpolitikan di bumi republik ini. Dikotomi antargajah, kini seakan sudah  sedemikian menggunung mengekploitir harta milik pelanduk. Saksikanlah, betapa sekarang untuk mendapatkan kulit pisang saja, para pelanduk mesti berkompetisi, saling bunuh antar sesama pelanduk, saling jarah antar pelanduk.  Rumah sebagai kandang pelanduk —yang mereka bikin sampai menghabiskan jutaan butir peluh sebagai energi— pun turut dilempari oleh para pelanduk lain.
Pada hakikatnya, di mana pun raja pasti ingin memanfaatkan kekuasaannya. Tidak itu gajah, harimau dan singa pun lebih dari serakah. Kalau gajah, makanan pokoknya masih sama seperti pelanduk : masih mencari rumput-rumput. Cuma, kalau sudah mengamuk, tentu Anda lebih tahu ketimbang saya. Namun, seganas-ganasnya gajah, kebuasan seekor harimau niscaya lebih extraordinary. Tengoklah, betapa para warga hutan menyimpan sifat paranoid, dalam soal centeng atau mencari urang bagak saja, harimau syahdan mengklaim dirinya sendiri sebagai raja tanpa melalui pemilihan umum terlebih dahulu. Kalaupun ada pemilihan raja, paling-paling kandidat-nya pun hanya satu. Tanpa ada lembaga legislatif yang mengawasi gerak-gerik raja sebagai kontinuasi setelah itu, menurut kemestian yang layak.
Agaknya, imperium harimau dengan style  begitu, sudah teramat suitable sebagai amsal penguasa yang otoriter dan bertendensi tirani. Sekarangpun sukar untuk memenjarakan harimau, yang mungkin  sudah bertumpuk-tumpuk menjarah harta warga proletar hutan belantara. Biarpun —seandainya— para warga meminta pertanggungjawaban harimau apabila sudah turun takhta, sesiapa yang berani memulai untuk memerintahkn Jaksa kerajaan hutan agar rezim harimau itu mengembalikan  harta yang telah ia jarah selama bertahun-tahun? Andai Jaksa sudah pula berbulat tekad, maka akan bersiaplah ia untuk dimundurkan (sebenarnya dicampakkan). Konon, pemimpin baru pengganti harimau mengatakan bahwa dalih si Jaksa diganti lantaran ia tidak proaktif.
Bagaimanapun, warga  hutan sekarang  belum lagi plong, disebab kelobaan di era harimau masih tampak menuansai kekuasaan  penggantinya. Namun, warga hutan —terutama pelanduk, tentu saja— tidak pernah menyoal siapa yang mamacik tampuk petinggi di negeri utopia, negeri di mana mereka hidup berabad-abad.
Bagi pelanduk, misalnya,  tidak perlu mengadakan unjuk rasa  guna mendatangi gedung sebagai kandang legislatif hutan jika pemimpin di negerinya cukup aspiratif. Dan ia tak mau peduli, siapa pun yang dipilih (sesungguhnya diangkat) menjadi raja sama saja (toh, kekuasaan cenderung korup, seperti dikatakan Sosiolog Inggris, Lord Acton :“power tends to corrupt”), asal  jangan sampai menginjak-injak rumput yang telah berabad-abad pula menjadi makanan utama para pelanduk.
Yang penting bagi pelanduk kini, adalah  bagaimana agar gajah- gajah rukun satu sama lain (itu hampir absurd dan tak mungkin), atau rumput yang sering diinjak-injak inyiak balang (julukan harimau di  Minang,pen) semasa berkuasa tidak turut di back-up oleh Pemerintah pengganti, lantas dijual mahal ke pelanduk-pelanduk atau teman-teman lain yang sama- sama bermakanan pokok rumput. Itu saja.
Tulisan ini dimuat dalam Rubril “Kolom” di Singgalang,  Padang, Minggu, 28 Juni 1998

Sabtu, 11 Oktober 2014

Moralitas Penguasa dan Konsep Teori Negara



APABILA dilayangkan pertanyaan, “negara apa dan penguasa yang bagaimana diimpikan oleh semua individu di dunia ini”, maka siapapun akan bersegera menjawab negara makmur yang dipimpin oleh penguasa bermoralitas. Ini jelas dan pasti.
Tetapi, apakah dengan begitu, orang-orang (baca: individu) tadi secara mudah langsung menuding dan memuncratkan pertanyaan baru “bagaimana sih cara ia memimpin? Kok ia tidak becus begitu? Dan  –jelas— ada seribu pertanyaan lain, yang pada realitasnya adalah bertendensi kepada ketidakpuasan dan keinginan yang membabi buta terhadap keadilan abstrak, konsekuensi  yang mungkin terbit —berkenan dengan ketidakpuasan— mengarah dan menjurus pada sikap negatif (negative behavior) kemudian lebih cenderung vulgar dan mengadakan  ‘penggangguan’ (chaos) di mana-mana.
Ini apabila dipikirkan lebih jauh, tidak bisa dilakukan perbuatan ‘saling  menyalahkan’ yang ujung-ujungnya menyulitkan kita dalam usaha mencari penyelesaian yang sebenar-benarnya. Bahwa, antara penguasa dan orang yang dipimpinnya, sesungguhnya memiliki satu visi yang relatif sama, Artinya, penguasa dan orang yang dipimpin tersebut, sama-sama mendambakan keamanan, ketenteraman, ketenangan yang transparan. Ini kadang banyak yang disalahtafsirkan oleh sebagian orang. Karena menurut pandangan mereka, instinct balane antara penguasa dan rakyat, cenderung melebih-lebihkan penguasa, Sehingga, keseimbangan yang diinginkan menjadi tidak jelas, kata mereka.
Pandangan itu tidak keliru, namun apa yang terjadi sebaliknya juga tidak salah. Sebab baik penguasa maupun rakyatnya, memiliki hak dan kewajiban yang tidak sama dalam konseptual ketetanegaraan di mana pun, Secara pragmatis, instinct balance itu baru mencuat jikalau positif rakyatnya dalam implikasi yang terarah.
Sikap mengagungkan penguasa
Adalah Niccolo Machiavelli —hidup pada masa-masa renaissance— yang menegaskan dalam bukunya Il Principe (Sang Penguasa/Raja atau Buku Pelajaran untuk Raja), bahwa tujuan negara ialah mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan dan ketenteraman. Ini, menurut, Machiavelli, hanya dapat dicapai oleh Pemerintah seorang raja yang mempunyai kekuasaan absolut, tetapi bukanlah sebagai tujuan terakhir. Tujuan yang lebih tinggi, kata Machiavelli,  adalah ‘kemakmuran’ (sebagai orang Florence, Italia, kemakmuran itu ditujukan Machiavelli untuk semua rakyat Italia) bersama.
Yang lebih krusial, kata Machiavelli lagi, bahwa negara tersebut adanya adalah untuk negara itu sendiri dan mestinya negara mengejar tujuan dan kepentingan sendiri dengan cara sangat licik sekalipun, Bahkan, kontroversi sikap Machiavelli tercermin pada prinsip memisahkan kekuasaan (asas-asas ketatanegaraan) dari asas-asas moralitas, di samping sikap ketidakacuhan terhadap teori keagamaan (teologis).
Keberanian (atau lebih kasar disebut ‘kegilaan’) Machiavelli tampak pada ‘penghalalan’ kekuasaan absolut oleh penguasa, juga legitimasi dalam pemgkultusan keukuasaan sang penguasa yang sewenang-wenang —seperti tindakan kekerasan, penipuan, bujuk rayu,kelicikan dan sebagainya— bertendensi menghimpit kepentingan masyarakat yang dipimpinnya, Bagi Machiavelli, masalah kekuasaan bukanlah soal legitimasi moral, melainkan bagaimana kekuasaan yang tak stabil menjadi stabil dan abadi, sekalipun bagaimana upaya untuk melebarkan sayap (baca: ekspansi) kekuasaan tersebut.
Di samping itu, Machiavelli percaya bahwa keluhuran dan kemuliaan martabat  manusia terungkap bukan dalam kerendahan hatinya, tetapi dari ‘kebanggaan’, bukan menderita karena kejahatan melainkan  kepuasan karena mampu membalas kejahatan (yang diperintahkan oleh Sang Penguasa atau Raja).
Jika dicermati lebih jauh, pragmatisme yang diajarkan Machiavelli (terutama dalam buku Il Principe – nya) adalah tersignifikasi kepada sekuler —dilihat dari penolakan terhadap keimanan (agama)– serta pengagung-agungan penguasa secara terbuka dan terkonstelasi.
Sejalan dengan ajaran Machiavelli, juga dikemukakan oleh Jean Bodin, ahli ketatanegaraan Prancis (pada abad XVI/zaman renaisasance). Menurut Jean Bodin, tujuan negara adalah kekuasaan, Sehingga terkesan, bahwa Jean Bodin hanya sekadar pelanjut atau latah mengkuti ajaran Machiavelli semata.
Moralitas politik
Masalah moral perlu dimasukkan ke dalam institusi negara, apalagi dalam ikhtiar menjembatani jiwa kepemimpinnan negarawan sebagai pengejawantahan kebijakan politiknya, Oleh sebab itu, antara moralitas dan etika berpolitik mesti sejalan, da mesti dikonsultasikan secara integratif ; tidak seperti paham Machiavelli yang seolah melecehkan struktur ketatanegaraan yang baku dan modern.
Memang pada masa lampau itu banyak para sarjana ahli negara dan hukum yang kontra terhadap teori Machiavelli — di antaranya Thomas Hobbes, John Locke dan Frederik Yang Agung— karena mengenyampingkan dan/atau menyimpang dari tradisi pemikiran politik Barat. Thomas Hobbes dan John Locke memilih garis pemikiran yang realistis dalam konsep teori kenegaraan, sehingga hampir semua negara di dunia mengikuti pandangan mereka terutama tentang negara dan penguasa.
Baik Hobbes maupun Locke, sama-sama menyodorkan pertanyaan “apa manusia itu” dan “apa masyarakat dan negara itu”, yang selanjutnya berjumpa pada persoalan apa kewajiban politik itu, Jelas, pandangan Hobbes dan John Locke kontradiksi dengan pandangan Machiavelli yang sama sekali tidak tertarik pada kewajiban politik tersebut (Anti Solaiman, Honeste Vivere, November 1990: 34).
Sebagai ahli negara dan hukum, John Locke, misalnya, berpandangan bahwa dalam keadaan bebas atau alamiah, manusia itu telah mempunyai hak -hak alamiah, yakni hak manusia yang dimiliki secara pribadi seperti : hak untuk hidup, hak untuk kebebasan/kemerdekaan serta hak untuk memiliki sesuatu (yang kesemuanya ini disebut sebagai hak dasar, atau dikenal hak asasi manusia di masa sekarang). Sedangkan tujuan negara, menurut John Locke, adalah perjanjian masyakat untuk membentuk masyarakat yang bertujuan memelihara dan menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia. Sehingga,  John Locke memandang perlu adanya pembatasan terhadap kekuasaan yang absolut (Suhino, 1986: 110).
Dari teori-teori ini, apabila dikaitkan dengan konsep negara —di dalam mewujudkan impulsif positif—-   alangkah layaknya menapaki etika politik sebagai prinsip, terutama pada saat memerintahkan bagi sang penguasa mana pun. Etika politik itu mesti dijelaskan pada rakyat yang terlanjur tergantung mengidolakan ketenangan. ketenteraman, dan  keamanan hdiup di sebuah negara. Sehingga dalam relevansinya, perlu menyelaraskan kepentingan penguasa dan rakyatnya dengan adanya statement yang konkret dan detail, seperti adanya penjelasan politik (political clarity).
Yang tak kalah vitalnya, prinsip konkret eksistensi sebuah negara, setuju dan sependapat menafikan teori Machiavelli di atas yang teramat jelas mengatasnamakankepentingan sendiri penguasa ketimbang kepentingan megara dan rakyat. Negara-negara yang menolak teori Machiavelli, sepakat menyusun undang-undang yang mengikat seluruh individu tanpa kecuali dan mengadakan check and balance dalam segala bentuk kebijakan penguasa terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Pada akhirnya, dapat dikonklusikan bahwa moralitas politk mutlak, perlu mengejawantahkan konkretisasi dari penguasa guna meyakini kemerataan, Hal ini dapat menjadi  bahan referensi terutama bagi  negara-negara miskin dan terbelakang —-seperti sebagian besar negara-negara di Afrika, misalnya—- yang mengambang dalam menetapkan kebijakan politik intternalnya.
Catatan: artikel opini ini pernah dimuat di Harian Singgalang, Padang, Rabu, 27 Agustus 1997.